Soko Berita

Omset Terus Tergerus, Perajin Kampung Boneka Sayati Hilir Berupaya Urus Diri Tetap Eksis

Meski mengalami penurunan, sentra boneka di Sayati Hilir boleh dibilang tetap eksis. Masih ada 60-an perajin yang aktif. Omset pun masih ratusan juta rupiah.

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
15 Mei 2025

SOKOGURU, BANDUNG- Setelah menyusuri kampung boneka di Sukamulya di Babakan Jeruk, Kecamatan Sukajadi dan di Gang Cibuntu, Kelurahan Warung Muncang, Sokoguru pun memasuki sentra boneka Sayati Hilir.

Berlokasi di Jalan Sayati Hilir, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, dulunya kawasan itu disebut cedok, singkatan dari bahasa Sunda, becek dan ledok atau belepotan.

Untuk mencapai lokasi ini, diperlukan waktu tempuh  sekitar 20 menit dari pintu Tol Kopo.

Di Sayati Hilir, boneka yang diproduksi cukup beragam mulai yang gresan (boneka besar) dengan isian kapas silikon hingga capitan, boneka kecil-kecil dengan isian kapas polyester. Boneka yang terbuat dari kapas silikon tentu lebih berkualitas dan mahal, ketimbang yang polyester.

Baca juga: Meski Menurun, Boneka Gang Sempit Cibuntu Masih Hasilkan Ratusan Juta Rupiah

Desa Sayati, cukup lama dikenal sebagai kawasan perajin boneka atau kampung boneka. Sejarah panjang dimulai ketika Elan Ruslandi atau biasa dipanggil Abah Elan, membangun usaha bonekanya pada tahun 1979.

Pria yang memiliki tujuh anak itu dikenang sebagai pelopor atau perintis perajin boneka di Desa Sayati. 

Ia adalah orang pertama yang membangun usaha kerajinan boneka di Desa Sayati dengan melibatkan partisipasi warga sekitar yang sebagian besar masih ada hubungan kerabat. 

Boneka yang dibuat kala itu pun masih satu jenis dengan bahan dari sisa-sisa limbah pabrik tekstil.

Namun sebelum memproduksi boneka, Elan lebih dulu membuka usahanya daerah tersebut membuat bata merah pada 1977. Itulah sebabnya daerah itu disebut cedok, karena sering becek. 

Baca juga: Bonsuka, Boneka Sukamulya yang Naik Kualitas, tapi Sulit Naik Kelas

Dua tahun berselang barulah ia memulai membuat boneka. Abah Elan pun mengajarkan cara-cara pembuatan boneka kepada warga. Setelah dirasa cukup belajar dan bisa membuat boneka, para warga lalu banyak yang memilih membuka usaha sendiri.

Dari situlah Desa Sayati berkembang pesat. Dan mulai booming di tahun 1990-an sehingga menjadi industri boneka atau lebih dikenal dengan julukan kampung boneka Sayati. 

Julukan kampung boneka itu pun dikukuhkan oleh Wakil Bupati Bandung  Gun Gun Gunawan sebagai kampung perajin boneka terbesar di Kabupaten Bandung pada 2018 . 

Baca juga: Upaya Menjahit Kembali Rezeki di Kampung Boneka Bandung

Pengukuhan itu tidak terlepas dari peranan masyarakat setempat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai wirausaha, pedagang dan perajin boneka dengan memproduksinya di rumah pribadi yang sekaligus menjadi tempat produksi boneka. 

Kisah tersebut disampaikan salah satu menantu Abah Elan, Roni,57, yang menikahi Tatik, putri ketiga Elan. Sebelumnya, ia juga bekerja pada Elan.

Lebih lanjut, Roni menuturkan, mertuanya itu pernah mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto  pada 1994. Kala itu ia mengaku masih menjadi ketua paguyuban perajin boneka di Sayati. 

“Mertua saya juga pernah membuat maskot  SEA Games 1999 di Brunei Darussalam, pada tahun itu juga, Elan membuat boneka kuis Indosat Galileo yang tayang di stasiun televisi SCTV,” ujarnya sambil menunjukkan 

Roni bersama Agus yang masih dalam satu keluarga Abah Elan. (Dok. Sokoguru/Dede Ramdani)

foto Abah Elan bersama Presiden Soeharto di Istana, kepada Sokoguru. Seiring waktu, usaha Elan melaju pesat terutama pada 2006, namun sejak 2008 bisnis bonekanya mulai meredup.

Sampai tahun 2023, kata Roni lagi, masih ada 120 KK yang memiliki usaha membuat boneka dengan rata-rata memiliki empat - 10 perajin. Jadi sedikitnya ada 500- 1.000 an lebih perajin.

Menurutnya, ketujuh anak Abah Elan bergelut di usaha boneka, tetapi kini tersisa lima saja yang masih aktif. Mereka memiliki usaha dengan nama usaha atau toko berbeda-beda. Adan Wildan Toys, PD Dwi Putra Toys, Alisa Toy.

“Kini sudah dipegang generasi ketiga, para cucu juga mulai main di boneka. Semua di kampung ini,” imbuhnya.

Tergantung orderan

Ketika Sokoguru berkunjung,  Roni sedang berada di rumah usaha milik adik iparnya Agus Kosasih dengan bendera usaha PD Dwi Putra Toys. Tempat usaha Roni sendiri berada di Banjaran dengan mempekerjakan delapan pegawai  di rumah produksinya.

Pagi itu di rumah produksi milik Agus, terlihat tiga pegawai sedang memasukkan kapas dakron atau silikon pada boneka yang dipesan oleh Dunia Fantasi (Dufan) Taman Impian Jaya Ancol.

“Kalau Ancol rutin pesan ke kita, kalau sudah habis nanti nyambung lagi. Sekarang sedang mengerjakan 200-an pcs boneka berukuran 25 cm,” ujar Roni yang didampingi istrinya.

Selain mengerjakan pesanan dari Ancol, ia juga mendapat pesanan  dari Brimo (BRI Mobile) BRI yang rata-rata setiap cabang di Kota Bandung memesan 200-an pcs dengan tiga jenis ukuran.

Roni mengakui orderan selalu ada, kecuali di bulan Puasa sepi, agak slow. Tetapi setelah lebaran order banyak yang masuk lagi. Sebagian besar pemesanan datang dari reseller dan penyelenggaraan event, baik untuk merchandise maupun hadiah.

Ia juga sering mendapat pesanan untuk event-event daerah, seperti pekan olahraga daerah (Porda), Pekan Olah Raga Nasional (PON). Setiap pemesanan rata-rata 1000-an pcs. Untuk Porda, misalnya, ia membuat 1.600 pcs.

“Waktu PON di Aceh dan Medan saya mendapat pesanan 600 pcs, karena sama pemenang tendernya kan di bagi-bagi ke tempat boneka lainnya. Cuma kalau untuk PON bonekanya agak besar ukurannya dan harganya Rp60 ribu per pcs-nya dari saya,” ujar Roni yang juga memiliki delapan tenaga kerja di rumah produksinya di Banjaran.

Roni mengatakan ia melayani minimum order 500-an pcs. Jika ada pemesan di bawah jumlah tersebut, akan dikenakan biaya sampel. Dan rata-rata untuk event olahraga, boneka yang dipesan seharga Rp35 ribu per pcs-nya.  Adapun harga boneka mulai Rp7.000 hingga Rp2,7 juta per pcs.

Selain mendapat order yang berkaitan dengan event, Roni juga memasarkan produk bonekanya lewat online dan memiliki 13 reseller. Namun, diakuinya hingga saat ini ia belum bertemu langsung dengan semua reseller tersebut yang tersebar di Sumatra (delapan reseller), Sulawesi (2 reseller), dan dari Kalimantan 3 reseller.

 

Jumlah perajin yang eksis

Lebih lanjut, Roni mengatakan sampai saat ini di  RW 08 di Desa Sayati hampir 90% mencari nafkah lewat boneka. Paling hanya 1-2 RT yang berprofesi lain. Dan yang terbanyak ada di RT 01 dan RT 05. 

“Di RT 02 dan 04 juga ada, tetapi sedikit. Kebanyakan rumah produksinya di gang-gang, paling ada tiga toko yang di pinggir jalan,” tambahnya.

Menurutnya, sampai ketika Sokoguru mengunjungi tempat itu, ada sekitar 100-an pelaku usaha boneka di Sayati, tetapi hanya 60 yang aktif. Setiap pelaku usaha mempekerjakan sedikitnya empat karyawan.

“Tinggal dikali saja. Tetapi ada juga yang mempekerjakan 10-20 karyawan. Jadi, bisa menampung 300- 500 karyawan lah,” ujar Roni lagi.

Adapun jumlah produksi boneka yang dihasilkan di kampung tersebut, Roni mengaku tidak menentu, karena tergantung order. Namun umumnya satu tukang menjahit ditargetkan minimal menyelesaikan 2 kodi atau 40 pcs per hari.

“Jadi kalau saya punya 8 karyawan berarti minimal menghasilkan 8 x 40 = 320 pcs. Itu minimal, karena ada pelaku usaha yang memiliki lebih dari 10-30 karyawan. Di toko Alisa Toys, misalnya, memiliki 20 karyawan. Tapi semua masih skala mikro dan kecilah, masih di bawah Rp1 miliar,” imbuh pemilik perusahaan EP Production itu lagi.

Sementara untuk upah karyawan, sambung Roni, biasanya dibayar secara borongan mulai dari Rp20 ribu hingga Rp120 ribu per kodi. Hal itu tergantung tingkat kesulitan pola (patron) boneka.

“Paling gampang bikin bantal. Kalau target minimal setiap karyawan 2 kodi per hari tinggal di kali saja. Sedangkan untuk upah Rp120 ribu itu biasanya untuk pembuatan maskot besar yang harganya jutaan rupiah per pcs-nya,” kata bapak yang memiliki empat anak ini lagi.

 

Batal SNI

Ketika ditanya apakah produk yang ada di Sayati sudah memiliki standar nasional, Roni menjelaskan, sebelum pemilihan presiden Februari lalu, pihak Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (waktu itu masih di bawah 

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) pernah menawarkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)

“Waktu itu dari HaKI menawarkan secara gratis. Nantinya boneka di sini satu merek (brand) saja yang terdaftar.  Terus SNI-nya sudah ditawarin juga. Kita setuju saja dibuatkan satu merek, tetapi tidak ada kelanjutannya sampai pergantian presiden,” ujarnya.

 

Roni menambahkan, waktu itu para pelaku usaha boneka di Sayati masih merembukkan dan menggodok nama merek yang akan dicantumkan. 

Para pelaku usaha juga tidak keberatan diberi lebel yang sama, karena tidak berpengaruh juga pada penjualan, sebab sebagian besar yang datang minta dibuatkan boneka dengan merek desain sendiri (makloon).

“ Merek nggak ada pengaruh sih. Tetap aja ada orderan dari luar. Kalau di sini mah fleksibel. Jadi ada yang bawa merek dan model sendiri. Seperti makloon gitu. Polanya tinggal kita bikinan.”  ujar Roni.

Ketika ada jeda waktu, barulah ia memproduksi model boneka idenya sendiri atau bertanya ke tetangga-tetangga tokoh kartun atau gambar apa yang sedang ramai di pasar. 

 

Masih keluarga

Selain Roni, keluarga Abah Elan lain yang ditemui Sokoguru adalah Agus Kosasih,55. Ia menikahi putri ke-4 Elan bernama Pipin yang tidak lain adik kandung Tatik, istri dari Roni.

Kalau Roni mengerjakan semua orderannya di Banjaran, Agus masih tinggal di jalan Kopo Sayati Hilir no 51, RT 01 dengan nama usaha PD Dwi Putra Toys yang dimulainya pada 1990.

Pria yang semula karyawan di perusahaan sepatu itu juga spesialis membuat aneka jenis bantal. Seperti halnya sang kakak ipar, Agus juga banyak menerima orderan maskot-maskot.

Pada PON di Aceh dan Medan lalu, misalnya, ia mendapat pesanan membuat boneka macan dan gajah sebanyak 4.000 pcs dengan ukuran 30 cm.

“Biasanya dari hotel-hotel di Jawa Barat, Trans Studio, sekolah-sekolah yang mau wisuda-an, dan pemerintah daerah. Rata-rata (di luar event) masing-masing biasa pesan 1.000 pcs untuk 10 hari. Setelah itu pesan lagi,” ujar Agus.

Beberapa waktu lalu, lanjutnya, Hotel Novus di Puncak, Anyer dan Jakarta, misalnya, pesan 150 pcs. Dua minggu kemudian hotel tersebut melakukan pemesanan lagi.

Agus mengatakan ia hanya menerima order boneka dengan harga minimal Rp30 ribu - Rp35 ribu per pcs. Ada juga yang Rp75 ribu per pcs. Sedangkan untuk maskot ukuran besar 2,5 meter dengan harga Rp4 juta sampai Rp5 juta rupiah.

“Tegantung pemesannya, nanti kita buatkan polanya. Pernah anak gubernur di Papua sana pesan 1 boneka senilai Rp7,5 juta per pcs,” ujar agus yang memiliki 20 perajin.

Selain melayani orderan Maskot, Agus juga mengerjakan pesanan makloon.

Adapun mekanisme upah yang diberlakukan di tempat usahanya adalah sistem borongan. Misalnya ada pesanan 500 pcs ia akan memberikan karyawannya untuk diselesaikan selama 6 hari dengan upah Rp300 ribu sampai Rp500 ribu.

“Jadi kalau dirata-rata, penghasilan mereka per kodi itu Rp30 ribu untuk yang boneka biasa, dan boneka yang agak sulit bisa Rp40 ribu per kodi,” tambah bapak dua anak ini lagi.

Lebih lanjut, Agus mengatakan,pendapatannya rata-rata bisa Rp50 juta per bulan. Tetapi setahun terakhir ini ia merasakan omsetnya turun drastis.

“Dapat Rp20 juta per bulan saja sudah bagus,” ujarnya.

Baik Agus maupun Roni mengakui efisiensi anggaran yang diimbau pemerintah sangat berdampak bagi usahanya.  Misalnya, empat sekolah di Sukabumi yang menjadi langganannya setiap acara lulusan siswa, tidak lagi memesan boneka.

Begitu juga dengan sampel-sampel yang sudah masuk dari pemerintah daerah diminta dipending dulu.

“SMAN 1, 2, 3 dan SMAN 4 di Sukabumi biasanya bulan-bulan ini sudah pesan boneka buat acara wisudaan, kini tidak order lagi. Dari Pemerintah Daerah Garut, Tasikmalaya, dan Indramayu juga minta dipending dulu, padahal sampel sudah masuk,” tuturnya.

Penurunan omset juga diakui Roni. Namun ia tidak terlalu risau, karena order boneka selalu ada. Dan soal penurunan itu menurutnya juga terjadi di produk lain, seperti fesyen, dan lainnya.  

“Katanya daya beli masyarakat lagi menurun dan ada penghematan anggaran dari pemerintah,” ujarnya.

 

Sekretaris RW 08 Sayati Hilir, Enjang Wahyu (kiri) dan perajin boneka besar, Jajang Muhidin. (Dok. Sokoguru/Dede Ramdani)

 

Trend model boneka 

Terkait tren boneka, baik  Roni maupun Agus mengatakan,  

yang abadi adalah beruang dan panda. Beruang, menurut Roni, tidak mengenal musim.

“Yang laku tokoh-tokoh kartun Disney. Kalau kartun-kartun Jepang jarang. Dulu pernah bikin tokoh Picachu. Dari Cina tokoh Bubu, ada juga dinosaurus, tetapi kurang booming,” ujarnya.

Roni pun mengenang  boomingnya boneka Teletubbies. Menurutnya tukang boneka saat itu banyak yang kaya mendadak.  Setelah itu boneka Spongebob juga meledak karena banyak karakternya.

 

Dampak sosial ekonomi ke warga

Sekretaris RW Enjang Wahyu, mengakui, keberadaan sentra boneka Sayati Hilir memiliki dampak sosial yang besar buat warganya, terutama untuk peningkatan ekonomi.

“Sangat membantulah bahkan bisa mengurangi pengangguran,” ujarnya.

Namun ketika ditanya soal permodalan,  wahyu mengatakan dulu pernah mau membuat koperasi bersama (Kube), tetapi sampai sekarang belum terwujud.

“Mungkin dari sisi sumber daya mansia (SDM) di masyarakat sini kurang. Jadi sampai sekarang belum terwujud,” jelasnya.

Sementara dukungan permodalan dari  pihak lain termasuk pemerintah untuk UMKM di Sayati Hilir belum pernah masuk.

“ Rata-rata pakai modal pribadi masing-masing,” imbuhnya sambil mengajak Sokoguru melihat rumah produksi boneka capitan yang kecil-kecil milik Anisa Toys.

“ Produksi boneka capit bisa 200-300 kodi per minggu dengan sistem pre order (PO), ujarnya.

Setelah itu, kami dibawa ke tempat pembuatan boneka khusus untuk wisuda.

“Di sini karyawan fleksibel aja. Kadang setelah mereka selesai mengerjakan di tempat capitan, lalu  datang lagi kerja membuat boneka wisudaan. Saling membantu sajalah,” jelas Wahyu lagi.

Terakhir, Sokoguru mendatangi tempat pembuatan boneka maskot. Di sana dipajang contoh-contoh boneka maskot. Ada pesanan boneka dari Kabupaten Ciamis, boneka Indosat Galileo. 

Tidak jauh dari tempat itu ada pembuatan khusus boneka besar yang biasa dipakai badut atau diletakkan di hotel.

Menurut Jajang Muhidin, perajin boneka besar, mengatakan ia berkecimpung di dunia boneka sejak masih bujangan hingga kini berusia 52 tahun.

Ia mengaku banyak mengerjakan pesanan untuk badut dan dari hotel-hotel. Disinggung soal permodalan, Jajang dengan nada kesal mengatakan sejak awal usahanya semua secara mandiri.

“Dari awal belum pernah ada yang kasih modal, termasuk dari pemerintah. Kadang-kadang bagaimana ya, saya merasa ditelantarkan.

Sudah sering mengajukan pendanaan, tetapi tidak pernah ada. Bantuan-bantuan mesin juga belum pernah ada,” ujarnya lirih.

Namun begitu, ia berharap semua perajin yang ada di Sayati Hilir kompak bekerja sama saling membantu.

Pasalnya, akhir-akhir ini ia melihat para pelaku usaha boneka di Sayati Hilir mulai banyak memakai tenaga kerja dari luar. 

“ seharusnya anak-anak lokal di sekitar sini dulu yang diangkat. Tapi sekarang ada pekerja dari Cianjur, Tasik, Garut. Harusnya orang-orang sini dulu jangan sampai di sini malah jadi pengangguran,” tutupnya. (Ros/SG-1)   Bersambung…..

Hasil reportase di tiga sentra boneka di Kota dan Kabaupaten Bandung ini bisa disaksikan juga lewat tayangan Sokoguru Xplore di kanal Youtube berjudul Menjahit Rejeki Lewat Boneka.